Thursday, May 19, 2011

Sejarah



Kantor Kabupaten Dari Depan



             Hamparan wilayah yang subur di Jawa Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcingguling sejak jaman dahulu kala merupakan kawasan yang dikenal sebagai wilayah yang masuk Kerajaan Galuh. Oleh karena itu menurut Profesor Purbocaraka, wilayah tersebut dinamakan Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa, dinamakan : Pagalihan. 
Dari nama “Pagalihan” ini lama-lama berubah menjadi : Pagelen dan terakhir menjadi BAGELEN
Di kawasan tersebut mengalir sungai yang besar, yang waktu itu dikenal sebagai Sungai Watukuro
Nama “ Watukuro “ sampai sekarang masih tersisa dan menjadi nama sebuah desa terletak di tepi sungai dekat muara, masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakatnya hidup makmur dengan mata pencaharian pokok dalam bidang pertanian yang maju dengan kebudayaan yang tinggi.


Depan Rumah Dinas Zaman dolo



Gapura Rumah Dinas Bupati


             Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Margasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal    5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah Prasasti Batu Andesit yang dikenal sebagai Prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Prasasti yang ditemukan di bawah Pohon Sono di dusun Boro Tengah, sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78.






 Sungai Watukoro





Lokasi temuan tersebut terletak di tepi Sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Pematokan tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “parahiyangan”. Atau para hyang berada.


 Aliran Sungai Bogowonto


Dalam peristiwa tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …”
Wilayah yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud adalah Goa Seplawan, karena di dekat mulut Goaua Seplawan memang terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.



 Muara

Upacara 5 Oktober 901 M di Boro Tengah tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.


Gedung DPRD Purworejo



Perlu dicatat, bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah tokoh. Misalnya dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh Sunan Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupatn Magelang.
Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan andalan dari Sutawijaya yang kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. 
Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat disegani.
Paska Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikn Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, Kedungkebo dan Brengkelan.



 Dari Puncak Geger Menjangan

Pada periode Karesidenan Begelen ini, muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang punya pengaruh sampai ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dalam perjalanan sejarah, akibat ikut campur tangannya pihak Belanda dalam bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, maka wilayah Mataram dipecah mejadi dua kerajaan. Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. 
Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13 pebruari 1755 tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk ke Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu diupamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.


Monumen HUT RI ke 5



Dalam Perang Diponegoro abad ke XIX, wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pangeran Diponegoro mndapat dukungan luas dari masyarakat setempat. Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesienan Bagelen dihapus dan digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.
Tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjdi satu dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen. Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam perkembangan sejarahnya Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer.



Tugu WR.Supratman

Tokoh-tokoh yang muncul antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan “Indonesia raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, Sarwo Edy Wibowo dan sebagainya.
Para tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di dalam maupun di luar negeri.


Dikota yang telah berusia 1105 tahun lebih ini terdapat makam para pemimpin islam dan tokoh-tokoh agama yang di anggap keramat seprti : Mbah Kyai Ahmad Alim-Bulus,Habib Abdullah Bafagih ,Habib Zein Baraqbah,Kyai Tumenggung Kasan Munadi Samparwadi ,Kyai Imam Poero.Eyang Giri Sumantoko ,Eyang Zarkasih dan Beberapa yang lain .
Tokoh-tokoh pemimpin pemerintahan yang makam nya hingga kini di kunjungi peziarah antara lain ,Adipati Sawunggaling,Tumenggung Pringgoatmodjo ,Adipati Cokronagoro ,Tumenggung Gagak pranolo Tumenggung Gagak Handoko,Pangeran Giri dan msh banyak lagi.

Beberapa masjid peninggalan masa lalu yang di buat sekitar tahun 1600-an dengan arsitektur kuno yang menggambarkan karya besar islam yang di bangun para perintisnya,masih terpelihara dengan baik,dan dapat di lihat langsung sambil mendengarakan kisahnya dari para juru kunci yang umumnya di jabat secara turun temurun hingga saat ini.Masjid-masjid tersebut antara lain ,Masjid Loano,Masjid Santren-Bagelen.

Terdapat pula petilasan di purworejo yang sampai sekarang banyak di datangi untuk membuktikan kisah-kisah menakjubkan, seperti, Petilasan Sunan Geseng (murid sunan kalijaga), Petilasan Nyi Bagelen, Petilasan Lokajaya dll.

Purworejo juga terkenal sebagia tanah kelahiran para tokoh nasional.Sebut saja WR Supratman , Jendaral Urip Sumoharjo, Jendral Ahmad Yani, Jendral Sarwo Edhi, Jendral Endriartono sutarto hingga Erman Suparno (mentri tenaga kerja dan transmigrasi kabinet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf kalla). 
Peninggalan karya islam bersejarah khas purworejo yang terus di datangi wisatawan adalah “ Bedug terbesar di dunia” yang terlatak didalam masjid Darul Muttaqin, alun-alaun purworejo yang setiap hari di tabuh sebagai tanda waktu sholat.

Kekayaan sejarah, tradisi dan budaya purworejo banyak mendapat perhatian dunia pariwisata sebagai bagian dari komoditi wisata nasional yang sangat menarik untuk di kunjungi.Purworejo telah mencatatkan diri sebagai salah satu kota penting di Indonesia yang tak pernah kering memasok putra-putra terbaik untuk bangsa dan Negara sejak dulu hingga sekarang.

Purworejo berada di antara kota-kota wisata yang lebih populer macam Jogyakarta dengan karaton dan candi Prambananya ,Magelang dengan candi Borobudurnya serta Kebumen dengan Goa Jatijajar nya. Namun meski tak memiliki obyek peninggalan sejarah sehebat Borobudur ,Prambanan atau Goa Jatijajar Purworejo punya pelaku sejarah yang di zamannya turut berkiparah mengatur kemerdekaan Indonesia yang tak kalah hebat kandungan sejarahnya sebagai asset Nasional untuk di ketahui masyarakat luas.
Seperti kata bijak yang di kumandangkan peradaban dunia, bangsa yang besar ialah bangsa yang mamapu menghargai pahlawanya, maka seperti itulah masyarakat purworejo menghormati jasa para pendahulunya yang telah berjuang memerdekakan dan membangun negeri ini.Jasa dan Sumbangsih para pahlawan yang tanpa pamrih itu ,di tulis dalam tinta emas dan dikenang sebagai kisah heroic yang mengharumkan bangsa Indonesia pada umumnya dan masyarakat Purworejo pada khususnya.


Bupati-Bupati Purworejo

1.    Raden Adipati Aryo Cokronagoro II
2.    Raden Adipati Aryo Cokronagoro III
3.    Raden Adipati Aryo Cokronagoro IV / RMTA Soegeng Cokronagoro IV
       Raden Adipati Aryo Cokronagoro IV menjabat sebagai Bupati Purworejo sampai 1919.
       Oleh karena kesalahan terhadap Pemerintah Belanda, Bupati Cokronagoro IVdibebastugaskan. 
       Namun pada 1921 direhabilitir dan diangkat kembali sebagaiBupati hingga pension.
4.    Raden Adipati Aryo Soerjadi dari 1921 – 1928
5.    RM hasan Danoeningrat (1928 – 1945)
6.    R. Moeritno Reksonegoro (1945 – 1949)
7.    M. Soeparjo Sastrodiprojo (1949 – 1954)
8.    M. Hardjo Kartoatmodjo (1954 – 1957)
9.    M. Slamet Soeto Hardjono (1957 – 1966)
10.    Drs. Soeharto AH (1967 – 1975)
11.    Kol. Inf. Soepanto (1975 – 1985)
12.    Drs. H. Soetarno (1985 – 1990)
13.    H. Goernito (1990 – 2000)
14.    H. Marsaid (2000 – 2005)
15.    H. Kelik Sumrahadi, S.Sos, MM (2005 – 2010)
         melalui Pilkada
16.    Drs.Mahsun Zain, M.Ag (2010 – 2015)
         melalui Pilkada

No comments:

Kembali ke Laptop